Represif Aparat
Terhadap Mahasiswa Dengan
Menyalahgunakan Wewenang
Belakangan ini beredar video dimana seorang polisi
melakukan tindak kekerasan kepada mahasiswa yang tengah melakukan aksi unjuk
rasa di depan Kantor Bupati Tangerang (13/10/2021). Demo tersebut digelar
bertepatan dengan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Kabupaten Tangerang ke-389.
Berdasarkan video yang beredar, terekam seorang mahasiswa mengalami
kejang-kejang usai dibanting oleh aparat polisi yang melakukan pengamanan aksi
unjuk rasa yang berujung ricuh tersebut. Dalam aksinya, mahasiswa menyampaikan
aspirasi atas berbagai permasalahan yang ada di Kabupaten Tangerang.
Korban tersebut dikabarkan sehat meskipun sempat dilarikan ke RS Harapan Mulya, Kabupaten Tangerang, Banten. Menanggapi peristiwa ini, Kapolresta Tangerang Kombes Wahyu Sri Bintoro mengatakan bahwa anggotanya yang berpangkat Brigadir mengaku refleks membanting mahasiswa saat pengamanan demo di depan Kantor Bupati Tangerang kemarin. Aparat tersebut juga telah meminta maaf secara langsung dan siap mempertanggung jawabkan perbuatannya.
Kasus Kekerasan Oleh Anggota POLRI
Peristiwa pembantingan ini menambah daftar panjang
kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian. Komnas HAM mencatat, sepanjang
Januari-September 2021, Polri diadukan sebagai pelanggar HAM terbanyak dengan
571 kasus. Sebanyak 78 kasus di antaranya terkait kekerasan dan penyiksaan.
Tingginya angka kasus penyiksaan oleh Anggota POLRI menunjukkan bahwa institusi
kepolisian tidak menjadikan peristiwa tersebut sebagai upaya untuk mengevaluasi
dan mengkoreksi kinerjanya di lapangan melainkan semakin menguatkan asumsi
publik bahwa institusi kepolisian masih melakukan tindak kekerasan saat
bertugas.
Tindakan Aparat Dilihat Dari Segi UUD
Indonesia merupakan negara yang menjunjung hak asasi
manusia. Hal tersebut terbukti dari diaturnya hak asasi manusia di dalam Bab XA
UUD 1945 mengenai perlindungan dan rasa aman terhadap warga negara. Dalam pasal
28A UUD 1945, secara tegas dinyatakan bahwa “ Setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Serta pada pasal 28I
dinyatakan bahwa “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,hak untuk
kemerdekaan pikiran dan hati nurani,hak beragama,hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum,dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat
dikurangi dalam keadaan apapun.”
Dengan keberadaan kedua pasal tersebut semestinya sudah cukup menegaskan bahwa setiap individu berhak untuk hidup secara aman dan tidak mendapatkan kekerasan,serta menegaskan bahwa tindakan yang dilakukan pihak kepolisian telah melanggar prinsip dasar HAM. Apabila mengacu pada Peraturan Kapolri No 16 Tahun 2006,maka aparat kepolisian dilarang melakukan kekerasan secara di luar prosedur terhadap masa aksi. Selain itu,penindakan terhadap massa yang memang melanggar ketertiban umum pun harus mendahukan upaya-upaya persuasif dan edukatif tanpa menggunakan kekerasan.
Begitu miris hukum di Indonesia ini
terhadap orang yang mempunyai kekuasaan tetapi hukum hanya berlaku kepada
rakyat yang tidak mempunyai kekuasaan atau jabatan apapun di Indonesia. Kami
juga akan terus dan selalu mengecam represifitas aparat, menindak apa yang dia
perbuat kepada mahasiswa maupun masyarakat.
“ Harapannya,agar kejadian serupa tidak
akan terulang lagi di masa depan. Kepada aparat Kepolisian diminta agar
memperhatikan kembali Standar Operasional Prosedur (SOP) supaya aparat tidak
lagi menggunakan kekerasan dalam melakukan pengamanan aksi unjuk rasa. Selain
itu,kepada para pengunjuk rasa juga diminta untuk menyampaikan aspirasinya
dengan damai tanpa melakukan tindakan-tindakan yang dapat menimbulkan
ketegangan dalam pelaksanaannya.”
#PercumaLaporPolisi
#PejuangKritikus
#BidangHikmahPKIMMFEBUMSU2021
Komentar
Posting Komentar